Menyeimbangkan Cuan Fashion dan Aspek Sustainability dengan Bahan Ramah Lingkungan

Menyeimbangkan Cuan Fashion dan Aspek Sustainability dengan Bahan Ramah Lingkungan

Fashion menjadi salah satu industri penyumbang polusi dan limbah terbesar di dunia. Sekitar 10 persen emisi karbon berasal dari industri mode, sehingga menjadikannya penyumbang polusi terbesar kedua setelah industri minyak.

Menurut data Earth.org dari 100 miliar pakaian yang diproduksi setiap tahun, 92 juta ton berakhir di tempat pembuangan sampah. Sebagai perbandingan, ini berarti bahwa truk sampah berisi pakaian berakhir di tempat pembuangan sampah setiap detik.

Disebutkan apabila tren ini berlanjut, jumlah sampah mode cepat diperkirakan akan melonjak hingga 134 juta ton per tahun pada akhir dekade ini. Sekalangan pelaku fashion pun mulai sadar tentang produksi yang harus dikendalikan, tapi hal ini juga bisa disikapi dengan penggunaan bahan ramah lingkungan.

Seperti label Tangan Angie yang membawa konsep “musikalisasi kaos bumi” sempat direview oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno dalam sebuah pameran UMKM. “Awalnya buat produk sebgai gift bikin sketsa wajah yang bikin aku sendiri karena itu diberi nama Tangan Angie,” ungkap Putri Angie, Owner Tangan Angie saat dihubungi Tim Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 26 September 2024.

Seiring waktu ketika menerima pesanan, Angie melihat bahwa betapa berbahayanya kontribusi sampah fashion untuk lingkungan. Ia pun mulai memilih bahan ramah lingkungan seperti katun bambu, karena bambu termasuk pohon yang cepat tumbuh.

“Katun bambu juga nyaman di kulit, jadi kita bisa bantu pemakainya merasa nyaman. Apalagi bahaya mikroplastik, berbahaya untuk sekitar kita tidak sadar menghirup mikroplastik,” papar Angie.


Penggunaan Pewarna Alam

Selain bahan yang lebih ramah lingkungan, pemesanan kaus juga menggunakan pewarna alami dan packaging yang eco friendly. Meskipun menurut Angie harganya jauh lebih mahal, bahkan pewarna alami bisa 10 kali lipat harganya daripada pewarna biasa.

“Ayah saya pernah belerja di industri fashion bagian pencucian baju, ayah sampai kena sakit paru-paru,” cerita Angie yang melatarbelakanginya peduli dengan proses produksi pakaian lebih ramah lingkungan.

Meskipun, pasar untuk kaus yang prosesnya lebih ramah lingkungan jadi mahal, Angie yang berdomisili di Banyuwangi mengaku menargetkan konsumennya kalangan A+. Target market A menurutnya lebih masuk dengan konsep tersebut, biasanya yang sudah tahu pentingnya menjaga lingkungan dan sadar dampak dari fast fashion.

“Pewarna alami targetnya orang yang hidupnya minimalis, flugal, sadar pemilihan pakaian untuk kenyamanan,” katanya.

Ia juga akhirnya menekankan pada produksi blouse, kemeja yang biasa dipakai untuk acara semi-formal. Sementara untuk pemesanan kaus, harga di atas Rp125.000 untuk konsep tersebut masih dianggap mahal untuk kalangan yang belum mengerti tentang konsep ramah lingkungan.

Tangan Angie pun menyasar kalangan bule, bahkan produksinya juga dikirim ke luar negeri. Karena Banyuwangi cukup dekat dari daerah wisata, pasarnya adalah turis yang paham soal pemilihan bahan serta konsep ramah lingkungan. Untuk omset per bulannya, Angie menyebut bisa mencapai angka Rp120 jutaan, tapi juga tak tentu setiap bulannya.


Pesan Ramah Lingkungan pada Produksi Kaus

Tak terbatas pada penggunaan bahan dan proses produksinya, pesan sustainability fashion juga bisa disampaikan dengan tulisan dan gambar dari desain kaus. Seperti yang dilakukan oleh Aquamakaraka, sebuah brand aparel khususnya untuk kaos sablon mengusung tema peduli lingkungan.

“Aku bikin gambar sendiri, ada lima desain setiap bulannya, konsumen yang mau desain ulang juga bisa, dengan tema khusus peduli lingkungan,” ungkap Tiffany Samantha, Owner Aquamakaraka saat wawancara dengan Tim Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 26 September 2024.

Bisnis yang awalnya dibuat setelah covid, menurut Tiffany idenya berawal dari pekerjaan orangtuanya yang menyuplai produksi kaus. Ia juga mengikuti kelas pelatihan bisnis kemudian baru menjual ke konsumen sejak Desember 2021.

“Kenapa ambil tema ini, kalau bisnis kaos ada banyak banget, kami ingin ada target market khususnya dengan tema peduli lingkungan,” sebut Tiffany yang juga mengatakan bahwa rilisan desainnya selalu ditunggu.

Kelebihan Aquamakaraka memang pada desain yang dibuat Tiffany sendiri, tapi sebelumnya ia sempat membeli desain dari pihak kedua. Tapi melihat desain kaus yang menurutnya mirip-mirip, akhirnya ia mendesain sendiri karena khawatir soal copyright.


Desain Banyak Diminati Segmen Pecinta Alam

Tiffany menyebut bahwa konsumen Aquamakaraka dari individu sampai instansi, karena setiap bulan terus launching desain baru yang menurutnya juga selalu ditunggu-tunggu. Tapi kebanyakan komunitas pecinta alam, pesepeda, yang ingin pakai kaus dengan konsep unik bergambar alam.

Saat ini memang dari segi bahan masih menggunakan katun, tapi ke depannya Tiffany berencana memakai bahan lebih ramah lingkungan seperti katun bambu. Kemudian untuk packaging ia memakai bahan dari kertas daur ulang dan plastik daur ulang yang cukup tipis karena tetap ingin kondisi produk terjaga di tangan konsumennya.

Dari segi harga, kausnya dijual mulai Rp135.000 dengan size standar. Tapi Aquamakaraka juga menyediakan sampai ukuran  7 XL. Ukuran untuk anak-anak, lengan panjang maupun pendek pun tersedia. “Bahkan konsumen kita ada yang beli kaus desainnya sama dengan warna lain, karena kita sedia sampai 50 warna dan bisa request nama,” ungkapnya.

 

“Alam ini minatnya nggak berkurang yang tertarik banyak ngga berhenti, karena yang mendukung ramah lingkungan banyak,” terang Tiffany yang menyebut omsetnya per bulan bisa sampai Rp12 juta jika sedang ramai dan rata-rata Rp3 juta per bulan saat kondisi normal.

Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *